UMPAN BALIK

Keselamatan maritim tidak hanya dibangun melalui peraturan dan prosedur, tetapi juga melalui keberanian sehari-hari dari mereka yang berani bersuara ketika sesuatu tidak berjalan semestinya. Edisi ini memuat berbagai contoh nyata keberanian moral, mulai dari tindakan melaporkan pembuangan limbah ilegal di laut, menentang pengaturan transfer pilot yang tidak aman di pelabuhan, hingga menghadapi kepemimpinan yang bersifat intimidatif di darat.
Setiap laporan mencerminkan kebenaran yang lebih mendalam: budaya keselamatan dibentuk oleh tindakan individu dan dipertahankan oleh sistem yang mendukungnya. Baik itu seorang pilot yang menolak menaiki tangga yang tidak dipasang dengan benar, maupun seorang awak kapal yang menolak tekanan untuk melanggar aturan MARPOL, kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa kepatuhan bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif, melainkan tentang melindungi nyawa, lingkungan, dan integritas profesional.
CHIRP bergantung pada suara para pelaut dan pekerja maritim di seluruh dunia untuk mengangkat isu-isu keselamatan di lingkungan kerja mereka. Setiap laporan, sekecil apa pun, membantu kami mengidentifikasi tren, menantang sikap abai, dan mendorong pembelajaran di seluruh industri. Pengalaman Anda sangat berharga; bahkan, bisa menyelamatkan nyawa.
Apabila Anda menyaksikan permasalahan keselamatan, menghadapi tekanan untuk mengabaikan prosedur, atau ingin berbagi pelajaran yang berharga, kami mendorong Anda untuk mengirimkan laporan secara rahasia. Bersama, kita dapat mempertahankan momentum dan membangun budaya maritim yang menghargai keberanian, menegakkan kepatuhan, dan menempatkan keselamatan sebagai tanggung jawab bersama.
–
Seorang pelapor melaporkan kepada CHIRP mengenai pembuangan limbah berminyak dan plastik secara ilegal ketika kapal sedang berlayar menuju pelabuhan berikutnya. Ia menyertakan foto dan video yang menunjukkan limbah berminyak dari ruang mesin dibuang ke laut atas perintah perwira senior.
CHIRP segera memberi tahu Flag State, dan tidak lama kemudian, inspektur dari otoritas Flag State datang ke kapal untuk melakukan pemeriksaan. Pelapor dan CHIRP tetap berkomunikasi secara intens sepanjang proses tersebut. Motivasi utama pelapor sangat jelas: menghentikan pencemaran lingkungan dan memastikan akuntabilitas.
Pelapor awalnya menyampaikan permasalahan tersebut secara internal, dengan dukungan dari rekan awak kapal lainnya yang memiliki kekhawatiran serupa terhadap dampak lingkungan. Namun, ketika tidak ada tindakan yang diambil, ia menghubungi CHIRP untuk memastikan masalah tersebut ditangani dengan tepat. Keberanian moral dan rasa tanggung jawabnya patut diapresiasi.
Meskipun pengalaman tersebut membuat pelapor merasa terisolasi pada beberapa kesempatan, ia tetap yakin bahwa melindungi lingkungan laut adalah hal yang benar. CHIRP membagikan bukti yang ada kepada Flag State, designated person ashore (DPA) perusahaan, pihak asuransi, dan badan klasifikasi untuk menelusuri penyebab akumulasi limbah berminyak dan sedimen, serta mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang.
CHIRP mendorong para pembaca untuk tetap melaporkan kekhawatiran mereka, bahkan ketika tanggapan dari otoritas tampak terbatas. Setiap laporan membantu mengungkap permasalahan sistemik dan mendorong perubahan positif.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa perlindungan terhadap pelapor tidak hanya menjadi isu di atas kapal, tetapi juga mencerminkan budaya keselamatan perusahaan di darat. DPA, dengan kewenangan dan tanggung jawab moralnya, memiliki peran penting dalam memastikan bahwa mereka yang menyampaikan laporan mendapat dukungan, bukan pembungkaman.
CHIRP memberikan penghargaan atas keberanian moral pelapor. Insiden ini mempertegas tujuan utama keberadaan CHIRP: menyediakan jalur yang aman dan independen bagi para pelaut untuk bersuara ketika terjadi sesuatu yang salah, serta mendorong pembelajaran yang melindungi manusia dan lingkungan.
Budaya – Budaya keselamatan dan kepedulian lingkungan di kapal tersebut tergolong lemah, sehingga dibutuhkan keberanian moral yang besar dari awak kapal untuk bersuara dan menentang praktik yang merugikan lingkungan.
Pelaporan – Tindakan pelaporan merupakan keterampilan penting, dan dibutuhkan keberanian untuk bersuara ketika terdapat risiko tekanan emosional maupun profesional.
Praktik Lokal – Pembuangan ilegal di laut telah menjadi praktik yang dianggap normal di kapal tersebut hingga akhirnya seseorang berani melapor kepada otoritas.
Poin-Poin Utama
Regulator: Lindungi laut, dan lindungi pula mereka yang berusaha melindunginya.
Otoritas negara bendera dan lembaga terkait harus merespons laporan pembuangan ilegal secara cepat dan melakukan investigasi menyeluruh. Tindakan nyata, termasuk sanksi yang tegas, dapat mencegah pengulangan kasus serupa dan memperkuat budaya kepatuhan. Pedoman dan penegakan hukum harus menekankan pentingnya perlindungan lingkungan sekaligus perlindungan bagi pelapor.
Manajer: Melindungi pelapor berarti melindungi keselamatan semua pihak.
Ketika pelaut merasa aman untuk melaporkan isu keselamatan dan lingkungan, hal tersebut akan membawa perubahan positif terhadap budaya keselamatan. Manajer memiliki kewajiban untuk menumbuhkan budaya pelaporan yang positif. Prosedur yang jelas harus menjamin tindakan cepat dan dukungan penuh bagi mereka yang menyampaikan laporan.
Pelaut: CHIRP hadir untuk membantu Anda.
Melaporkan pelanggaran lingkungan merupakan langkah penting dalam melindungi ekosistem laut. Jika Anda merasa tidak aman melapor melalui jalur perusahaan, CHIRP menyediakan ruang aman untuk mendengarkan dan membantu.
–
Saat menuruni tangga pilot, seorang pilot terjatuh dari ketinggian sekitar 5 meter ke atas kapal pilot dan mengalami cedera berat. Prosedur operasi standar dari otoritas pemanduan tersebut menetapkan bahwa kapal pilot harus berada di posisi tepat di bawah tangga dan tetap di tempat saat pilot atau personel lainnya menuruni tangga.
Pelapor menyampaikan kekhawatiran bahwa prosedur tersebut mungkin bertentangan dengan praktik terbaik, karena jatuh dari ketinggian sedang sekalipun ke atas kapal pilot dapat berakibat fatal. Ia lebih memilih agar kapal pilot mendekat ke sisi kapal setelah pilot berada di pertengahan tangga.
Insiden yang berkaitan dengan Pilot Transfer Arrangement (PTA) sering kali mencerminkan permasalahan sistemik yang lebih luas, seperti ketidakkonsistenan pelatihan di atas kapal, pengawasan yang kurang memadai, atau kurangnya pemahaman bersama mengenai prosedur. Memastikan semua pihak memahami ekspektasi dan waktu pelaksanaan secara jelas merupakan hal yang krusial bagi keselamatan.
Sebuah video edukatif dari Fédération Française des Pilotes Maritimes menyoroti bahwa jatuh dari ketinggian 3 meter ke kapal pilot dapat menyebabkan cedera serius, jatuh dari 5 meter dapat mengakibatkan disabilitas permanen, dan jatuh dari 8 meter dapat berakibat fatal. Hal ini menegaskan pentingnya komunikasi dan koordinasi yang jelas antara tim anjungan kapal, pilot, serta awak kapal pilot.
Saat pilot naik ke kapal, umumnya lebih aman bagi kapal pilot untuk menjauh setelah pilot berada dengan aman di tangga dan mulai memanjat. Namun, ketika pilot hendak turun dan masih berada di bagian atas tangga, risiko cedera fatal apabila terjatuh ke kapal pilot menjadi sangat tinggi.
Situasi ini menimbulkan konflik antara dua risiko yang saling bertentangan: risiko jatuh dari ketinggian ke kapal pilot yang sudah berada di bawah tangga, dan risiko kapal pilot tersangkut pada bagian bawah tangga ketika bermanuver mendekat, yang dapat menyebabkan pilot terlempar akibat gerakan kapal yang tiba-tiba.
Tidak ada satu jawaban tunggal yang dapat diterapkan secara universal. Namun, Prosedur Operasi Standar (SOP) di banyak otoritas pemanduan biasanya menetapkan agar kapal pilot sudah berada di posisi bawah tangga sebelum pilot mencapai bagian atas dan mulai menuruni tangga. CHIRP menyarankan agar otoritas pemanduan melengkapi SOP mereka dengan memberi pilot kewenangan untuk mengambil keputusan berdasarkan asesmen risiko dinamis yang dilakukan bersama kapal dan kapal pilot. Jika hasil penilaian menunjukkan bahwa kondisi tertentu lebih aman bila kapal pilot mendekat setelah pilot turun sebagian tangga, maka kebijakan tersebut sebaiknya diperbolehkan.
Dalam semua situasi, poster pilotan IMO (MSC.1/Circ.1428) dapat memperkuat koordinasi dan pemahaman bersama. Komunikasi yang jelas, kesadaran bersama, dan ketepatan waktu tetap menjadi cara paling efektif untuk memastikan setiap proses transfer pilot berlangsung dengan aman.
Kesadaran Situasional – Penting untuk memahami berbagai faktor yang dapat menyebabkan pilot terjatuh, termasuk kondisi cuaca dan gelombang, pergerakan relatif kedua kapal, tinggi tangga yang harus dilalui, serta efektivitas perlindungan (lee) yang diberikan oleh kapal yang lebih besar.
Praktik Lokal (Jalan Pintas atau Penyimpangan) – Prosedur operasi otoritas pemanduan ini bertentangan dengan praktik terbaik internasional. Namun, tindakan pilot yang menuruni tangga sebelum kapal pilot berada di bawah tangga juga merupakan penyimpangan dari prosedur yang tertulis. Otoritas pemanduan disarankan untuk menyelaraskan kedua pandangan ini agar risiko dapat diminimalkan hingga tingkat yang As Low As Reasonably Practicable (ALARP).
Komunikasi/Pelaporan – Otoritas pemanduan tidak menanggapi kekhawatiran yang disampaikan oleh pelapor.
Tekanan – Terdapat tekanan implisit dari otoritas pemanduan agar para pilot mematuhi prosedur yang kaku, meskipun prosedur tersebut bertentangan dengan praktik terbaik industri.
Poin-Poin Utama
Regulator: Terapkan praktik terbaik sebelum tradisi berubah menjadi bahaya.
Perkuat pengawasan untuk memastikan prosedur turun pilot sesuai dengan pedoman internasional dan mengatasi toleransi budaya terhadap metode yang tidak aman.   Â
Manajer: Apakah risikonya sudah As Low As Reasonably Practicable (ALARP)?
Tinjau dan selaraskan prosedur lokal dengan praktik terbaik internasional guna mencegah pembiasaan terhadap jalan pintas yang berisiko.
Pilot/Kontraktor/Awak Kapal: Keselamatan Anda adalah prioritas utama — jangan naik atau turun tangga sebelum prosedur keselamatan disepakati bersama.
Pastikan posisi kapal pilot aman sebelum menggunakan tangga, dan jangan ragu untuk menolak instruksi yang tidak aman bila diperlukan.
–
Saat berangkat dari dermaga pengisian bahan bakar di dalam pelabuhan, sebuah uncrewed surface vessel (USV) dan kapal pendukungnya dikelilingi oleh sejumlah besar kapal layar yang sedang memasuki pelabuhan. Karena padatnya lalu lintas, kedua kapal tidak dapat bermanuver dengan aman, sehingga hampir terjadi tabrakan. Situasi ini menimbulkan risiko serius terhadap keselamatan jiwa dan harta benda, karena beberapa kapal berada dalam posisi yang sangat dekat dengan potensi benturan atau kerusakan
Insiden nyaris tabrakan ini menyoroti tantangan dalam mengoperasikan uncrewed surface vessel (USV) di pelabuhan yang ramai bersama kapal konvensional. Bahkan operasi yang telah direncanakan dengan baik pun dapat menimbulkan risiko ketika ruang gerak terbatas dan terdapat banyak kapal lain di sekitar.
Semua kapal, baik yang diawaki maupun yang tidak, wajib sepenuhnya mematuhi International Regulations for Preventing Collisions at Sea (COLREGs). USV harus diperlakukan sama seperti kapal lainnya, dan semua pengguna perairan memiliki tanggung jawab yang setara untuk tetap waspada serta mengambil tindakan pencegahan yang cepat dan efektif untuk menghindari tabrakan (Aturan 2, 5, dan 6). Demikian pula, operator USV wajib mematuhi Aturan 8(e) dan 8(f), serta seluruh ketentuan lain yang berlaku.
Nakhoda dan operator jarak jauh USV harus ditunjuk secara resmi dan biasanya berada di darat. Pada kapal kecil, satu orang dapat memegang kedua peran tersebut, namun seorang operator jarak jauh hanya dapat mengendalikan satu kapal pada satu waktu, sementara seorang nakhoda dapat memiliki beberapa kapal di bawah komandonya.
Pelaut diharapkan untuk mengantisipasi area padat lalu lintas dan meningkatkan kewaspadaan, terutama selama proses kedatangan dan keberangkatan. Operator pelabuhan dan pengelola kapal harus memastikan adanya rencana manajemen lalu lintas dan komunikasi yang jelas setiap kali USV beroperasi.
Otoritas pelabuhan disarankan untuk meninjau kembali peraturan lokal dan mempertimbangkan pedoman khusus bagi operasi USV di area dengan kepadatan lalu lintas tinggi, baik rekreasional maupun komersial, termasuk ketentuan mengenai sinyal, pemantauan, serta koordinasi dengan pengendali pelabuhan.
Kesadaran Situasional – Kepadatan lalu lintas membuat tim pengoperasian USV dan kapal pendukungnya kesulitan mempertahankan gambaran situasional yang jelas mengenai seluruh kapal di sekitar dan niat pergerakan masing-masing.
Komunikasi – Dengan banyaknya kapal, jarak yang sempit, serta kemungkinan perbedaan operator (kapal pesiar, pengendali marina, dan lainnya), miskomunikasi atau ketidakjelasan niat dapat dengan mudah menimbulkan kesalahpahaman.
Kepuasan Diri – Karena keberangkatan merupakan kegiatan rutin, para operator mungkin meremehkan risiko tabrakan dengan berasumsi kapal lain akan memberi jalan atau situasi akan terselesaikan dengan sendirinya.
Praktik Lokal – Di beberapa pelabuhan, umum bagi kapal untuk berangkat ke area padat tanpa urutan atau pengaturan yang jelas. Kebiasaan lokal seperti ini dapat memperkecil margin keselamatan dan meningkatkan risiko insiden.
Regulator dan Otoritas: Atur untuk kapal masa depan, bukan hanya yang sudah dikenal.
Operasi gabungan antara kapal diawaki dan tidak diawaki memerlukan pembaruan prosedur dan pengawasan. Integrasi USV ke dalam sistem pelabuhan dan Vessel Traffic Service (VTS), penguatan persyaratan koordinasi, serta peningkatan pelatihan dan pilotan merupakan langkah penting untuk mengelola lalu lintas masa depan dengan aman.
Manajer dan Operator: Rencanakan untuk situasi padat — bukan situasi tenang.
Peristiwa ini menegaskan pentingnya penilaian risiko yang realistis dan koordinasi pra-keberangkatan yang mencerminkan kondisi lalu lintas aktual, bukan hanya rencana operasi di atas kertas. Pengawasan manusia tetap sangat penting, dan manajemen beban kerja yang efektif antara tim pengendali USV dan kapal pendukung menjadi kunci. Keselamatan tidak boleh dikorbankan demi jadwal atau tekanan komersial.
Pelaut: Jika situasinya belum jelas, jangan bergerak.
Insiden ini menegaskan pentingnya menjaga kesadaran situasional saat beroperasi di perairan padat dan memahami bahwa sistem tanpa awak memiliki keterbatasan dalam persepsi dan kemampuan bermanuver. Komunikasi yang jelas dan dilakukan lebih awal tetap menjadi langkah paling penting, dan menunda keberangkatan jauh lebih aman daripada memaksakan operasi di tengah kebingungan atau kemacetan lalu lintas laut.
–
“Kami adalah kapal pesiar layar berukuran besar yang sedang beroperasi dengan mesin, berlayar ke arah barat daya dengan kecepatan 9 knot, berada sekitar 1,5 mil laut dari sebuah selat atau jalur pelayaran. Saya mengamati sebuah feri yang berlayar hampir ke arah utara, terlihat jelas dari haluan kanannya. Kondisi visibilitas sangat baik, kedua radar berfungsi dengan baik, dan pengamat berjaga di anjungan.
Nilai Closest Point of Approach (CPA) menimbulkan kekhawatiran, dan situasi ini merupakan kondisi persilangan yang jelas (Aturan 15 COLREGs). Dalam situasi ini, kapal kami merupakan kapal stand-on, sebagaimana dikonfirmasi oleh pengamat. Saya mempertahankan haluan dan kecepatan. Saya memperkirakan feri tersebut akan berbelok sedikit ke kanan (sekitar 10–15 derajat) karena tersedia ruang laut yang luas dan tidak ada lalu lintas lain di sekitar, serta feri telah melewati selat sehingga tidak ada batasan kedalaman. Dengan demikian, kedua kapal seharusnya dapat berpapasan dari sisi kiri (port-to-port).
Namun, feri tetap mempertahankan haluan dan kecepatannya, melintasi haluan kami pada jarak kurang dari dua kabel. Kami akhirnya berpapasan dari sisi kanan (starboard-to-starboard) dengan jarak yang sangat dekat (sekitar 70 meter), sehingga saya dapat melihat dengan jelas nakhoda atau petugas jaga di anjungan yang memberi isyarat bahwa saya yang bersalah. Hal ini mengejutkan saya, karena tidak ada keraguan terkait situasi tersebut maupun tindakan yang seharusnya diambil oleh masing-masing kapal.
Meskipun feri beroperasi pada rute tetap, kewajiban untuk mematuhi COLREGs tetap berlaku. Situasi close-quarter yang berpotensi berbahaya ini seharusnya dapat dihindari apabila penerapan COLREGs dilakukan dengan lebih baik.
CHIRP menindaklanjuti laporan ini dengan menghubungi nakhoda kapal motor pesiar untuk klarifikasi dan memperoleh informasi tambahan. Dari uraian tersebut, disimpulkan bahwa kedua kapal tidak sepenuhnya mematuhi aturan yang relevan (Aturan 2, 7, 8, 16, dan 17 COLREGs), sehingga menyebabkan terjadinya situas jarak dekat.
Expectancy bias kemungkinan memengaruhi pengambilan keputusan, karena pihak feri berasumsi bahwa kapal pesiar bermesin besar akan mengalah, sebagaimana lazimnya di perairan pantai yang padat. Faktor lain yang mungkin berperan adalah tekanan komersial. Jadwal yang ketat dan pelayaran yang berulang dapat secara halus memengaruhi pengambilan keputusan, membuat pelaut lebih mengutamakan efisiensi dibanding kepatuhan terhadap peraturan. Namun demikian, jarak perlintasan hanya 70 meter jelas berbahaya, terlepas dari jenis kapal maupun tingkat familiaritas terhadap rute tersebut.
Kejadian ini menjadi pengingat bahwa COLREGs dirancang untuk menghilangkan ketidakpastian. Mengharapkan kapal lain untuk menyimpang dari aturan justru menimbulkan risiko yang tidak perlu. Penting untuk menantang asumsi dan mempertahankan kesadaran situasional, disertai komunikasi yang dini dan tegas. Sinyal berupa lima kilatan cahaya pendek atau lima ledakan suara pendek dapat memutus rantai kesalahpahaman sebelum berkembang menjadi situasi berbahaya.
Bagi operator feri, terdapat pula pelajaran penting di tingkat organisasi. Perusahaan dengan jadwal ketat harus memastikan manajemen secara berkala meninjau rencana pelayaran, baik melalui kunjungan manajer maritim maupun audit navigasi independen, untuk memastikan praktik di anjungan tetap sesuai dengan COLREGs. Mendorong awak kapal untuk melaporkan dan mendiskusikan insiden near miss secara terbuka tanpa menyalahkan pihak tertentu membantu mengidentifikasi pola dan memperkuat perilaku aman sebelum insiden terjadi.
Meskipun kedua kapal memiliki kewajiban yang jelas untuk menghindari tabrakan, kasus ini menegaskan satu kebenaran sederhana: menjadi benar secara aturan tidak selalu berarti aman dan patuh.
Praktik Lokal – Kegagalan feri untuk mengubah haluan mencerminkan kemungkinan adanya kebiasaan lokal yang menempatkan prioritas pada rute dan jadwal dibandingkan protokol keselamatan dalam persilangan.
Komunikasi – Tidak ada panggilan atau pertukaran sinyal VHF, bahkan ketika niat kedua kapal tidak jelas, yang menunjukkan kegagalan dalam komunikasi efektif.
Kesadaran Situasional- Deteksi visual yang tidak tepat atau terlambat menunjukkan bahwa feri tidak menilai lintasan kapal pesiar dengan akurat. Meskipun radar berfungsi, potensi bahaya tidak terdeteksi atau tidak ditindaklanjuti secara tepat waktu.
Complacency – Familiaritas terhadap rute rutin dapat menyebabkan pengabaian risiko, dengan asumsi tidak akan ada penyimpangan atau bahaya, serta kegagalan dalam menantang situasi persilangan.
Pelaporan – Meskipun kapal pesiar telah memperkirakan perlintasan port-to-port, tidak ada sinyal atau peringatan yang diberikan kepada feri untuk menunjukkan kekhawatiran, juga tidak ada pemeriksaan silang atau komunikasi lanjutan.
Tekanan – Tekanan untuk mematuhi jadwal kemungkinan memengaruhi pengambilan keputusan awak feri; kekurangan personel atau beban kerja juga dapat berkontribusi.
Poin – Poin Utama
Regulator: Identifikasi pola, tutup celah, dan tegakkan kepatuhan terhadap COLREGs.
Pantau insiden close-quarters yang berulang antara feri berjadwal dan kapal lainnya. Terapkan kerangka kerja faktor manusia (human factors frameworks) seperti MGN 520 Deadly Dozen dan taksonomi SHIELD untuk mengidentifikasi permasalahan sistemik. Perkuat pengawasan terhadap praktik yang menyimpang atau kebiasaan lokal yang dapat melemahkan kepatuhan terhadap COLREGs, serta tingkatkan pilotan yang lebih jelas mengenai penggunaan VHF secara proaktif dan manajemen tim anjungan di wilayah perairan padat.
Manajer/Operator:
Budaya keselamatan dan pelatihan harus menjadi prioritas dibanding tekanan jadwal.
Pastikan tim anjungan memiliki kewenangan dan kepercayaan diri untuk mematuhi COLREGs, bahkan di bawah tekanan waktu atau pada rute yang sudah dikenal. Bangun budaya kerja yang mendorong keberanian untuk menyampaikan pendapat dan komunikasi terbuka. Tegaskan bahwa keputusan yang berorientasi pada keselamatan akan selalu mendapat dukungan, meskipun dapat menyebabkan keterlambatan jadwal.
Pelaut:
Jangan berasumsi, lakukan verifikasi, berkomunikasilah, dan bertindaklah sejak dini.
Gunakan seluruh peralatan yang tersedia—radar, AIS, dan pengamatan visual—untuk memastikan niat kapal lain. Jika terdapat keraguan, lakukan klarifikasi melalui VHF sebelum situasi berkembang menjadi lebih berisiko. Jangan bergantung pada apa yang “seharusnya” terjadi; antisipasi, pertanyakan, dan ambil tindakan sedini mungkin untuk tetap aman dan menghindari bahaya.
–
Sebuah uncrewed surface vessel (USV) sedang beroperasi di dekat ladang angin ketika terlibat tabrakan dengan crew transfer vessel (CTV). CTV tersebut dilaporkan sedang berlayar menghadap pantulan sinar matahari yang terang di permukaan laut, sehingga tidak melihat USV yang berprofil rendah.
USV langsung tenggelam. CTV mengalami kerusakan tetapi berhasil mencapai pelabuhan terdekat, di mana otoritas setempat menemui nakhoda kapal. Kapal tersebut kemudian berlayar ke pelabuhan lain untuk menjalani perbaikan besar. Kejadian tabrakan ini telah dilaporkan kepada otoritas berwenang.
USV masih berada pada tahap awal pengembangan operasional, namun penggunaannya meningkat dengan sangat cepat. Percepatan ini menimbulkan risiko baru yang perlu segera diantisipasi oleh otoritas regulasi. Pada saat yang sama, manajer dan pelaut harus terus mengikuti perkembangan teknologi dan waspada terhadap perubahan prosedur.
Laporan ini menyoroti tantangan utama dalam operasi kapal kecil: menjaga kewaspadaan dan kesadaran situasional dalam kondisi sinar matahari yang menyilaukan serta pantulan permukaan laut. Silau cahaya dapat sangat mengganggu jarak pandang dan mengurangi kontras, sehingga kapal kecil atau rendah sulit terlihat. Penilaian risiko perlu mempertimbangkan keterbatasan lingkungan ini dan menerapkan pengawasan tambahan atau alat deteksi elektronik saat berlayar melawan arah sinar matahari. Apa pun jenis kapalnya, semua operator wajib menjaga pengawasan yang memadai sesuai dengan COLREGs.
Sama seperti kapal berawak, USV juga wajib menyiarkan posisi dan statusnya melalui AIS. Dalam kejadian ini, CHIRP mempertanyakan apakah CTV benar-benar menjalankan pemantauan radar dan AIS yang efektif selain pengawasan visual. Dalam kondisi silau ekstrem, bergantung pada pengamatan visual saja tidak cukup. Dalam situasi seperti ini, mengurangi kecepatan (sesuai Aturan 6 COLREGs) sangat penting agar ada waktu cukup untuk bereaksi saat target terdeteksi.
Meskipun COLREGs berlaku untuk semua jenis kapal, keberadaan USV di area ladang angin sebaiknya dikomunikasikan dengan jelas sampai operasi jenis kapal ini menjadi hal rutin. Walau faktor lingkungan kemungkinan menjadi penyebab utama insiden, faktor manusia dan organisasi juga berperan. Tim jaga di anjungan tampaknya terlalu bergantung pada pengamatan visual, tanpa cukup mengintegrasikan radar dan sistem deteksi lain.
Pemeriksaan rutin terhadap aktivitas USV di area lepas pantai penting untuk menjaga keselamatan pelayaran. Kebiasaan terhadap area operasi dan tekanan waktu dalam pekerjaan transfer offshore dapat membuat kru meremehkan risiko dari bahaya baru. Seiring meningkatnya penggunaan USV di seluruh dunia, tinjauan menyeluruh terhadap praktik pengawasan, kemampuan deteksi, dan prosedur operasional akan sangat penting untuk mengurangi risiko tabrakan.
Kesadaran Situasional – Faktor utama penyebab — tim di anjungan tidak mendeteksi kapal kecil di depan karena silau, menunjukkan hilangnya kesadaran situasional dan kurangnya pengecekan silang dengan instrumen.
Peringatan – Kapal kecil dengan posisi rendah sulit terlihat, baik secara visual maupun di radar, sehingga menyulitkan kru CTV untuk mendeteksinya.
 Rasa percaya diri berlebihan/kecerobohan – Terlalu terbiasa dengan area operasi dapat menurunkan kewaspadaan dan membuat mereka gagal mengantisipasi bahaya akibat silau atau target kecil.
Tekanan – Operasi dukungan lepas pantai biasanya dibatasi waktu. Tekanan jadwal atau target kinerja dapat mengurangi kesempatan untuk menyesuaikan arah atau kecepatan sesuai kondisi pandangan.
 Poin – Poin Utama
Regulator: Kapal yang saling terhubung lebih aman.
Pertimbangkan kewajiban sistem pelacakan atau pemberitahuan bagi USV dan perbarui pilotan operasi di sekitar struktur lepas pantai. Kumpulkan dan bagikan data keselamatan dari insiden untuk mengurangi risiko di masa depan.
Manajer: Antisipasi yang tak terlihat sebelum menjadi tak terhindarkan.
Penilaian risiko harus mencakup operasi kapal tanpa awak, dan kru perlu dilatih dalam deteksi serta pencegahan tabrakan. Pelaporan insiden secara cepat membantu mengumpulkan pembelajaran guna mencegah kejadian berulang.
Pelaut: Jika tidak terlihat, belum tentu tidak ada di jalurmu.
Kapal berprofil rendah seperti USV sulit terlihat, terutama dalam kondisi silau. Selalu lakukan pengawasan waspada dan gunakan semua alat bantu yang tersedia, termasuk radar dan AIS. Siaplah bertindak segera jika tanda bahaya muncul.
–
“Manajer kapal terus-menerus bersikap agresif, menakut-nakuti, dan mempermalukan kru.
Ia memaksa kami melakukan tindakan ilegal, seperti melanggar aturan MARPOL dengan memompa keluar air bilga dari ruang mesin tanpa menggunakan Oily Water Separator (OWS), serta beberapa hal lainnya. Saat kami mengatakan bahwa itu melanggar hukum, ia mulai berteriak dan mengancam akan memecat kami. Kami tidak ingin melakukan pelanggaran atau melawan peraturan, tetapi kami juga harus bekerja untuk menghidupi keluarga kami.
Kami meminta bantuan Anda untuk menghentikan pelecehan, intimidasi, dan perilaku kasar dari manajer kapal ini. Kami sudah melapor ke DPA perusahaan, tetapi mereka justru menutupi masalah ini dan tidak membantu kami.”
Laporan ini menyoroti keprihatinan serius terkait kesejahteraan kru dan kepatuhan terhadap peraturan.
Perilaku agresif, mengintimidasi, atau mempermalukan dari seorang manajer kapal dapat berdampak besar terhadap moral dan keselamatan kerja. Pelaut tidak seharusnya dipaksa melakukan tindakan ilegal, termasuk pelanggaran terhadap ketentuan MARPOL.
Jika saluran pelaporan internal tidak berfungsi, penting bagi kru untuk mengetahui alternatif lain, seperti otoritas flag state, port state control, atau lembaga keselamatan independen.
Mencatat setiap kejadian secara rinci sangat penting, dan pelaut disarankan mencari dukungan dari lembaga kesejahteraan profesional atau bantuan hukum bila diperlukan.
Pelajaran utama dari kasus ini adalah bahwa keselamatan dan kepatuhan harus menjadi prioritas utama, dan lingkungan kerja yang saling menghormati merupakan hal yang esensial bagi semua orang di atas kapal. CHIRP telah menghubungi perusahaan manajemen kapal untuk meminta tanggapan atas laporan ini.
Komunikasi – Perilaku agresif dan mengintimidasi dari manajer kapal menghambat komunikasi terbuka, membuat kru merasa tidak aman untuk melapor, dan menutup saluran umpan balik maupun pelaporan yang semestinya.
Tekanan – Situasi ini menciptakan kepatuhan yang didorong oleh rasa takut, bukan oleh kesadaran keselamatan.
Kerja Sama Tim – Sikap manajer menciptakan lingkungan kerja yang tidak bersahabat dan merusak kepercayaan antar kru, terutama terhadap tim teknisi. Kepemimpinan yang efektif tidak ada, digantikan oleh intimidasi.
Poin – Poin Utama
Ketakutan tidak memiliki tempat di laut – kepatuhan, rasa hormat, dan keselamatan harus menjadi dasar setiap keputusan.
Regulator: Segera tangani kasus pelecehan dan praktik ilegal.
Pengawasan yang efektif dan dukungan terhadap pelaporan yang aman sangat penting untuk menjaga keselamatan kapal.
Manajer: Kepemimpinan dengan intimidasi membahayakan semua orang.
Rasa hormat, komunikasi, dan kepatuhan terhadap peraturan adalah hal yang tidak bisa ditawar. Kepemimpinan yang berlandaskan empati di seluruh perusahaan akan membantu menghapus perilaku manajerial yang buruk.
Pelaut: Ketahuilah bahwa ada banyak jalur bantuan di seluruh dunia jika komunikasi dengan pihak manajemen kapal menemui hambatan.