UMPAN BALIK
Sekali lagi, para pelapor kami yang luar biasa telah membagikan berbagai laporan insiden, dan kami berterima kasih kepada mereka semua. Pada edisi kali ini, kami beralih dari insiden ‘tradisional’ seperti kecelakaan saat pemanduan naik kapal dan insiden di ruang tertutup, ke sebuah laporan mutakhir tentang terbaliknya Unmanned Survey Vessel (USV) atau Kapal Survei Nirawak. Seperti biasa, ada pelajaran berharga yang dapat dipetik oleh siapa pun yang terlibat dalam dunia perkapalan.
Anda juga akan menemukan sebuah laporan yang mengkhawatirkan tentang kapal yang mengalami infestasi hama yang parah dan menjalani proses fumigasi yang gagal, serta laporan lain tentang denah kapal dari udara yang tidak akurat. Serupa dengan itu, pelapor lain menceritakan tentang palka darurat yang tidak dapat dibuka jika tali tambat sedang dililitkan pada bitts (tiang pengikat tali) di sebelahnya. Tema utama dalam edisi kali ini adalah bahwa kesalahan yang dibuat pada tahap desain dan konstruksi dalam siklus hidup kapal dapat menimbulkan dampak keselamatan yang nyata. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pelaut praktisi untuk dilibatkan di galangan kapal, sehingga mereka dapat mengidentifikasi setiap kesulitan praktis dan memastikannya diperbaiki sebelum kapal mulai beroperasi. Biasanya, akan lebih sulit dan lebih mahal untuk memperbaiki kesalahan di kemudian hari.
Hukum Murphy menyatakan, “segala sesuatu yang berpotensi salah, akan menjadi salah”. Ini bukanlah hal yang rumit, meskipun Tuan Murphy adalah seorang ilmuwan roket asal Amerika yang mencetuskan epigram tersebut pada tahun 1940-an. Penting untuk mengingat hal ini saat Anda menjalankan tugas di atas kapal, karena jika Anda memikirkan apa saja yang berpotensi salah dalam setiap situasi, Anda memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk mengambil langkah-langkah pencegahan dan memastikan Anda kembali ke rumah dengan selamat di akhir setiap pelayaran.
Sampai jumpa di edisi berikutnya, tetap utamakan keselamatan!
–
Kami menghadapi infestasi hama yang parah di kapal, dengan kecoak yang ada di seluruh bagian kapal. Hama tersebut ditemukan di persediaan makanan, lemari es, peralatan makan, tempat tidur, dan area lainnya. Situasi ini telah menyebabkan tekanan psikologis dan emosional yang signifikan di antara para awak kapal. Kami tidak bisa makan atau tidur dengan tenang, dan terus-menerus merasa cemas dan tertekan. Perilaku nakhoda memperburuk situasi kami. Ia berperilaku tidak menentu, melontarkan ancaman untuk memastikan kami diam mengenai masalah ini. Ada ketakutan di antara awak kapal, dan kami merasa tidak aman untuk angkat bicara. Selama inspeksi baru-baru ini, para inspektur pelabuhan tidak memeriksa kondisi di atas kapal secara teliti. Perilaku yang sama oleh petugas pelabuhan juga terjadi di pelabuhan sebelumnya dan selama inspeksi saat ini. Nakhoda telah memperingatkan kami untuk tidak mengatakan apa pun.
CHIRP menghubungi Flag State kapal tersebut, yang kemudian menghubungi perusahaan, dan pengaturan pun dibuat untuk melaksanakan fumigasi kapal. Akan tetapi, pelaksanaan fumigasi kapal tersebut tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam sistem manajemen keselamatan perusahaan. CHIRP diizinkan untuk meninjau bagian relevan dari sistem manajemen keselamatan tersebut, dan mendapati bahwa tidak ada satu pun pengendalian dari penilaian risiko yang diterapkan. Laporan ini menyoroti adanya kegagalan budaya keselamatan dan kepatuhan prosedur di atas kapal.
Tidak ada rapat keselamatan yang diadakan, dan tidak ada penjelasan mengenai lembar data kimia bahan fumigan. Dilaporkan bahwa beberapa awak kapal sedang tidur di kabin mereka saat fumigasi dimulai; sebuah praktik yang tidak dapat diterima dan membahayakan mereka pada risiko kesehatan yang serius. Bukti video mendukung keterangan awak kapal. Menurut pelapor, dampak psikologis pada awak kapal akibat infestasi hama serta kurangnya dukungan dari nakhoda dan perusahaan hingga adanya intervensi dari CHIRP telah menyebabkan tingkat stres yang sangat tinggi.
CHIRP berhasil mendapatkan Lembar Data Keselamatan (Safety Data Sheet) untuk bahan fumigan yang digunakan, dan risiko masalah kesehatan yang terkait dengan penghirupan tergolong tinggi. Awak kapal diinstruksikan untuk melakukan fumigasi putaran kedua saat dalam perjalanan ke pelabuhan berikutnya, tetapi mereka tidak dibekali perlengkapan hazmat atau masker yang layak, yang membuat proses fumigasi tersebut tidak aman. Perilaku nakhoda mencerminkan seseorang yang berada di bawah tekanan berat dan tidak mampu mengambil keputusan yang bijaksana terkait keselamatan awak kapal. Perusahaan manajemen tampaknya sangat kurang berpengalaman dan tidak memberikan dukungan yang memadai bagi awak kapal.
Kasus ini menjadi pengingat tegas bahwa dokumentasi saja tidak menjamin keselamatan. Prosedur harus dipahami, diterapkan, dan diverifikasi secara rutin. CHIRP telah meneruskan masalah ini ke Flag State kapal dan terus berkomunikasi dengan awak kapal untuk memastikan kekhawatiran keselamatan mereka didengar dan ditangani. Audit yang dangkal atau lemah, baik internal maupun eksternal, dapat melewatkan risiko-risiko serius, terutama jika awak kapal merasa tidak dapat berbicara secara terbuka selama inspeksi. Keadaan semacam ini tidak hanya membahayakan para pelaut tetapi juga mengikis kepercayaan terhadap kerangka peraturan yang seharusnya melindungi mereka.
Keberadaan prosedur tidak berarti banyak jika tidak dihayati dan ditegakkan di atas kapal. Kasus ini adalah contoh klasik dari “kepatuhan di atas kertas” (paper compliance), di mana dokumentasi hanya ada untuk sekadar memenuhi daftar periksa, bukan untuk mendorong hasil keselamatan yang nyata.
Praktik Lokal – Manajemen tampaknya memiliki aturan sendiri dalam mengelola kapal, tanpa mematuhi sistem manajemen keselamatan, meskipun ada acuan spesifik mengenai fumigasi.
Budaya – Tidak ada budaya keselamatan yang sejati, kecuali prinsip ‘jangan sampai ketahuan’.
Kapabilitas – Kepemimpinan operasional kapal tampaknya tidak mampu menjalankan sistem manajemen keselamatan.
Poin-poin penting
Bagi Para Pelaut – Sikap diam membahayakan keselamatan—berani bersuara menyelamatkan nyawa.
Infestasi hama yang parah, fumigasi yang tidak semestinya, dan perilaku nakhoda yang mengancam telah menciptakan lingkungan yang tidak aman secara psikologis dan berbahaya secara fisik. Meskipun prosedur formal ada di atas kertas, tidak ada satu pun yang diikuti, sehingga menempatkan awak kapal pada risiko kesehatan yang signifikan.
Bagi Para Manajer – Kepemimpinan yang tidak mau mendengar akan melahirkan risiko. Kegagalan dalam kepemimpinan, penegakan prosedur, dan perhatian terhadap kesejahteraan awak kapal dalam kasus ini mencerminkan kegagalan budaya keselamatan yang sudah mengakar. Prosedur diabaikan, risiko tidak dinilai, dan awak kapal dibiarkan dalam kondisi rentan. Manajer harus memastikan bahwa sistem yang terdokumentasi dapat diwujudkan dalam praktik nyata, serta para nakhoda dan awak kapal merasa diberdayakan dan aman secara psikologis untuk menyampaikan kekhawatiran mereka. Akuntabilitas kepemimpinan dan komitmen yang nyata terhadap keselamatan adalah hal yang mutlak dan tidak dapat ditawar.
Bagi Para Regulator – Regulasi akan gagal jika awak kapal tidak bisa berbicara dengan bebas.
Kasus ini menyoroti bagaimana sistem inspeksi dapat melewatkan bahaya kritis ketika awak kapal terlalu takut untuk angkat bicara. Meskipun ada pelanggaran prosedur dan ancaman kesehatan yang jelas, inspektur pelabuhan mengabaikan masalah ini dalam dua kesempatan terpisah. Regulator harus memperkuat protokol inspeksi untuk mengungkap ketidakpatuhan teknis dan budaya pelaporan yang ditekan, serta memastikan para pelaut dapat mengungkapkan kekhawatiran mereka dengan aman dan prinsip-prinsip just culture (budaya berkeadilan) dapat tumbuh subur.
–
Selama inspeksi rutin, tim menemukan bahwa palka evakuasi darurat dari ruang mesin ke dek tidak dapat dibuka. Palka yang terletak di dekat bitts tambat buritan tersebut terhalang oleh tali tambat yang sedang dililitkan. Hanya 2 hingga 3 sentimeter tali yang menjulur melewati tepi bitts sudah cukup untuk menghalangi palka terbuka—sebuah detail kecil yang bisa berakibat fatal dalam keadaan darurat.
Masalah ini bersumber dari tahap perancangan kapal. Pengaturan tambat dan rute evakuasi darurat dikembangkan menggunakan perangkat lunak CAD dan disetujui karena dianggap telah mematuhi peraturan terkait. Namun, tampaknya tidak ada yang memeriksa secara fisik bagaimana sistem-sistem ini akan bekerja bersama dalam kondisi nyata di lapangan. CHIRP mengetahui beberapa insiden serupa, seperti yang dilaporkan kepada International Marine Contractors Association (IMCA) dan telah menyurati International Association of Classification Societies (IACS) untuk meningkatkan kesadaran akan masalah ini.
Masalah ini baru terlihat ketika kapal sedang bersandar di dermaga atau sedang ditarik (under tow), padahal justru pada saat-saat itulah rute evakuasi harus berfungsi penuh. Ketidakmampuan membuka palka darurat karena beberapa sentimeter tali tambat merupakan kelalaian desain yang kritis dengan konsekuensi yang berpotensi parah. Palka evakuasi darurat yang terhalang telah menyebabkan kematian di masa lalu, contohnya pada insiden Marchioness di Sungai Thames.
Hal ini menyoroti perlunya pemeriksaan operasional yang praktis selama tahap perancangan dan persetujuan kapal-kapal baru, bukan hanya validasi digital. Keselamatan tidak hanya bergantung pada kepatuhan, tetapi juga pada fungsionalitas yang teruji. Ini menggarisbawahi perlunya pemikiran risiko yang terintegrasi yang mencakup operasi rutin, tata letak desain, dan sistem inspeksi. Sistem darurat harus terus-menerus divalidasi terhadap realitas praktik kerja di atas kapal.
Memasukkan rute evakuasi ke dalam proses familiarisasi Anda, terutama saat bergabung dengan jenis kapal yang berbeda, adalah hal yang sangat penting. Selain itu, palka evakuasi darurat dan jalur aksesnya harus dimasukkan ke dalam latihan-latihan kontingensi agar penggunaannya dapat menjadi bagian dari prosedur keluar (egress) dan masuk (access) selama latihan. Selama inspeksi triwulanan kapal, fungsi dan pengamanan palka evakuasi harus ditinjau oleh seorang perwira dan awak kapal dari departemen yang berbeda.
Kesadaran Situasional – Tim perancang dan tim persetujuan gagal mengantisipasi bahwa operasi tambat akan menghalangi rute darurat. Hal ini menunjukkan terbatasnya pandangan ke depan mengenai bagaimana kapal akan digunakan, terutama dalam skenario darurat di mana setiap detik sangat berharga.
Komunikasi – Kemungkinan terjadi komunikasi yang tidak memadai antara perancang, pembuat kapal, dan pemangku kepentingan operasional. Tanpa masukan dari mereka yang memiliki pengalaman langsung di atas kapal, cacat yang tidak kentara namun serius seperti ini bisa luput dari perhatian hingga terlambat.
Kerja Sama Tim – Proses desain tidak memiliki koordinasi lintas disiplin. Insinyur, arsitek perkapalan, tim galangan kapal, dan staf operasional semuanya berperan dalam memastikan sistem berfungsi dengan aman. Dalam kasus ini, kurangnya tinjauan kolaboratif berarti potensi bahaya darurat sudah tertanam sejak hari pertama.
Poin-poin penting
Bagi Para Pelaut – Jangan berasumsi sistem keselamatan berfungsi sesuai rancangan.
Periksa dan uji rute evakuasi secara teratur dalam kondisi dunia nyata, termasuk saat kapal sedang ditambatkan, untuk memastikan rute tersebut fungsional dan praktis. Beranikan diri untuk melapor jika ada sesuatu yang tidak beres, meskipun hal itu sudah sesuai dengan denah kapal.
Bagi Para Manajer – Libatkan staf operasional sejak awal dalam proses desain.
Awak kapal memberikan wawasan penting tentang bagaimana sistem digunakan sehari-hari. Bangun mekanisme peninjauan langsung dan langkah-langkah validasi praktis untuk menemukan risiko sebelum menjadi bahaya bawaan dalam desain.
Bagi Para Regulator – Verifikasi kepatuhan terhadap kondisi nyata, bukan hanya desain.
Kepatuhan desain harus diimbangi dengan kinerja fungsional. Titik akses yang krusial bagi keselamatan harus berfungsi dengan andal dalam semua kondisi operasional, terutama dalam keadaan darurat.
–
Indikasi dan penandaan untuk antena GPS 1 dan GPS 2 ditampilkan secara keliru pada denah susunan antena anjungan dan di dek kompas. Penandaan yang salah, jika terjadi masalah tertentu, dapat menyebabkan kesalahpahaman mengenai peralatan mana yang perlu diperiksa dan diperbaiki. Survei lengkap terhadap antena kapal telah dilakukan dan denah pun diperbarui sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Laporan ini menggambarkan bagaimana kesalahan kecil, seperti pelabelan yang salah, dapat menimbulkan masalah yang signifikan. Antena GPS 1 dan GPS 2 ditandai secara keliru baik pada denah anjungan maupun di dek kompas. Jika terjadi kerusakan, awak kapal mungkin akan memeriksa antena yang salah, membuang-buang waktu, dan bisa jadi mengabaikan masalah yang sebenarnya.
Antena-antena tersebut dipasang di lokasi yang benar, tetapi papan penanda dan gambar denah tidak sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada yang memeriksa label dengan benar setelah pemasangan selesai. Untuk sistem sepenting GPS, semua informasi, termasuk penandaan dan gambar denah, harus jelas dan akurat. Jika awak kapal tidak bisa memercayai apa yang mereka lihat, hal itu dapat menyebabkan keterlambatan atau kesalahan selama proses pencarian kerusakan.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa ketika antena dipasang selama fase pembangunan kapal baru atau di galangan kering, setiap peralatan baru harus diperiksa dengan saksama. Denah area/antena juga harus diperbarui dan diperiksa silang untuk memastikan keakuratannya. Sebagai catatan praktis yang krusial secara operasional, posisi antena harus ditandai dan ditempatkan dengan benar agar sistem navigasi dapat menerapkan offset (pergeseran) yang tepat dari garis tengah kapal. Contohnya, pada kapal dengan lebar 60 meter, kesalahan pencatatan posisi sebesar 20 meter dapat menempatkan Anda di luar alur pelayaran!
Sangat penting bahwa selama survei radio tahunan atau lima tahunan, verifikasi fisik terhadap semua antena peralatan anjungan benar-benar dilakukan. Hal ini juga berlaku setelah perbaikan apa pun di galangan kering, di mana peralatan anjungan diperbarui atau diganti.
Kesadaran Situasional – Selama pemecahan masalah teknis, tim anjungan mengandalkan denah dan label untuk mengisolasi kerusakan dengan cepat. Penandaan yang salah dapat dengan mudah menyesatkan operator dan memperpanjang masalah yang memerlukan perhatian segera.
Komunikasi – Alur informasi yang buruk antara tim desain, instalasi, dan operasional kemungkinan besar berkontribusi pada ketidaksesuaian ini. Tanpa mekanisme umpan balik yang efektif, kesalahan dapat terus ada tanpa terdeteksi hingga menyebabkan kegagalan.
Kerja Sama Tim – Penyelesaian akhir dari masalah ini memerlukan tinjauan terkoordinasi terhadap semua lokasi antena dan dokumen. Hal ini menyoroti pentingnya kolaborasi lintas departemen dalam mengidentifikasi dan mengatasi risiko keselamatan.
Poin-poin penting
Bagi Para Pelaut – Periksa, jangan berasumsi. Jangan mengandalkan diagram atau penandaan di dek tanpa berpikir—terutama selama proses pencarian kerusakan. Konfirmasikan instalasi yang sebenarnya secara visual dan sampaikan jika Anda menemukan ketidaksesuaian.
Bagi Para Manajer – Bahaya tersembunyi dalam detail-detail kecil. Sertakan pemeriksaan papan penanda dan dokumentasi dalam rutinitas pasca-pemasangan dan perawatan. Bahkan kesalahan pelabelan kecil dapat menyebabkan keterlambatan operasional yang signifikan.
Bagi Para Regulator – Uji asumsi, bukan hanya sistem. Pastikan bahwa proses komisioning (uji coba) dan inspeksi tidak hanya memverifikasi fungsionalitas peralatan, tetapi juga akurasi penandaan dan denah terkait, terutama untuk sistem krusial seperti GPS.
–
CHIRP menerima laporan dari seorang pilot mengenai pengaturan naik kapal yang tidak sesuai standar dan sikap awak kapal yang terkesan kurang peduli. Tangga pilot digantung dari langit-langit dek (deckhead) dan tidak dapat menempel rata pada sisi kapal karena adanya sabuk lambung (hull belting)—sebuah pengaturan yang tidak memenuhi standar keselamatan untuk naik ke kapal.
Meskipun tersedia sebuah pintu samping lambung (shell door) kecil untuk akses yang lebih aman, fender berukuran besar telah dipasang di kedua sisinya. Ketika pilot meminta agar fender tersebut dilepaskan untuk memfasilitasi proses naik kapal yang aman, nakhoda menolak dengan alasan khawatir akan merusak cat kapal. Pilot tersebut menilai situasi dan menyatakan bahwa proses naik ke kapal tidak akan dilanjutkan kecuali semua penghalang disingkirkan. Pada akhirnya, fender-fender tersebut dilepaskan, dan proses naik ke kapal dilakukan melalui pintu samping lambung. Peristiwa itu direkam dari sayap anjungan dan oleh para awak kapal, yang menambah tekanan dan rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh pilot.
Saat naik ke kapal, pilot yang bertugas mengalami benturan di kepala hingga menderita cedera ringan (lihat gambar terlampir). Awak kapal tidak menanyakan kondisi pilot atau menawarkan pertolongan pertama. Sebaliknya, ia justru diberi sepasang sarung sepatu untuk melindungi dek agar tidak kotor.
Peraturan keselamatan mengenai proses naik kapal bagi pilot dibuat karena kegagalan untuk mematuhinya dapat dan telah mengakibatkan cedera atau bahkan yang lebih buruk. Ini adalah contoh lain dari masalah desain umum yang sering dilaporkan kepada CHIRP. Tampaknya ada kekurangan pemikiran terpadu dalam perancangan superyacht. Awak kapal tidak seharusnya ditempatkan dalam situasi yang tidak aman karena keputusan desain yang buruk yang dibuat dari jarak jauh oleh pihak-pihak yang tidak akan mengoperasikan kapal tersebut.
Kolaborasi sangat penting selama tahap perancangan kapal baru, dengan melibatkan masukan dari semua pemangku kepentingan, termasuk perancang, pemilik, otoritas negara bendera, badan klasifikasi, awak kapal, kontraktor, dan para pandu. Laporan ini mengingatkan kita bahwa meskipun pilot adalah kontraktor dan tamu, mereka tetaplah profesional maritim yang sangat penting. Transfer pilot yang aman bukanlah sebuah pilihan; hal itu bersifat wajib, dan keselamatan fisik serta kesejahteraan mereka harus ditanggapi dengan serius.
Revisi pada ISO 799, yang menetapkan persyaratan baru untuk tangga pilot kapal, akan mulai berlaku pada tahun 2028. Saat ini, para pemilik kapal menerima kapal dari galangan yang tidak memenuhi standar, yang pada akhirnya memberikan beban lebih besar pada negara bendera kapal dan badan klasifikasi untuk memastikan kepatuhan terhadap SOLAS. CHIRP akan menyampaikan kekhawatiran ini kepada negara-negara bendera kapal terkait.
Budaya – Sikap yang meremehkan keselamatan pandu—dengan lebih mementingkan cat kapal daripada manusia—mencerminkan budaya keselamatan di atas kapal yang buruk. Budaya yang tidak menghormati personel eksternal atau alur pelaporan akan melemahkan kepercayaan dan meningkatkan risiko.
Komunikasi – Penolakan Nakhoda untuk melepaskan fender dan kegagalannya untuk menjelaskan atau menyelesaikan masalah secara kolaboratif menunjukkan kurangnya komunikasi yang efektif antara kapal dan pandu. Komunikasi yang efektif sangat penting untuk mencapai kesadaran situasional bersama dan membuat keputusan yang terinformasi serta terkoordinasi.
Peringatan – Pilot telah menyampaikan kekhawatiran tentang keselamatan, yang pada awalnya diabaikan; ini merupakan sebuah kegagalan dalam menindaklanjuti peringatan. Mengabaikan atau meremehkan kekhawatiran yang disampaikan akan membuat orang lain enggan untuk bersuara dan merusak efektivitas sistem keselamatan.
Kerja Sama Tim – Proses naik ke kapal adalah upaya kolaboratif antara pihak kapal dan pandu. Tindakan merekam peristiwa tersebut dan kegagalan untuk membantu menunjukkan runtuhnya perilaku kooperatif dan rasa saling menghormati, yang merupakan elemen kunci dari kerja sama tim yang efektif.
Kesadaran Situasional – Kurangnya kesadaran bahwa pilot telah terluka, ditambah dengan tidak adanya pertolongan pertama atau pengecekan kondisi, mengindikasikan kesadaran situasional yang buruk. Awak kapal tidak sepenuhnya fokus pada apa yang terjadi di sekitar mereka atau pada keseriusan peristiwa tersebut.
Poin-poin penting
Bagi Para Pelaut – Setiap pengunjung adalah tanggung jawab Anda. Para pandu dan kontraktor adalah bagian dari tim Anda yang lebih luas. Mereka berhak mendapatkan kewajiban kepedulian (duty of care) yang sama seperti awak kapal Anda. Pastikan pengaturan naik kapal aman, perlakukan pengunjung dengan hormat, dan bantulah tanpa ragu-ragu. Dek yang bersih bukanlah alasan untuk bersikap buruk.
Bagi Para Manajer – Akses yang aman bukan pilihan, melainkan hukum. Pengaturan untuk naik ke kapal harus memenuhi persyaratan SOLAS—setiap saat. Tekanan untuk melindungi cat kapal tidak boleh mengalahkan keselamatan personel. Tetapkan ekspektasi yang jelas kepada awak kapal Anda: semua pengunjung, terutama para pandu, harus disambut dengan aman dan profesional.
Bagi Para Regulator – Standar harus melindungi manusia, bukan cat. Insiden seperti ini menunjukkan bagaimana keputusan operasional dapat mempertaruhkan reputasi—dan nyawa. Regulator harus memperkuat pesan bahwa kewajiban untuk peduli (duty of care) berlaku bagi semua personel yang naik ke kapal, dan bahwa pengaturan yang tidak sesuai standar atau perilaku yang meremehkan tidak dapat diterima.
–
Laporan Proses Naik Kapal Pilot berbunyi sebagai berikut:
“Kondisi Cuaca (upaya pertama): angin: 33 knot dari Barat Daya; laut: alun 1,7 – 2,5m, Alun/ombak menghantam dek bawah, membuatnya tidak dapat diakses.
Upaya Pertama – Proses naik kapal dibatalkan – Awak kapal terlihat berdiri di atas penutup palka di atas sebuah tangga logam kuning permanen (lihat gambar terlampir), tampaknya mengharapkan pilot untuk naik melalui struktur ini. Tidak ada tangga pilot yang dipasang. Tindakan pemanduan dibatalkan karena tidak adanya tangga yang sesuai standar. Nakhoda telah diinformasikan, dan upaya kedua direncanakan untuk keesokan paginya.
Upaya Kedua – Proses naik kapal dibatalkan – Kondisi cuaca tetap sama seperti upaya pertama. Pilot diarahkan untuk naik di dekat area akomodasi di buritan kapal, setingkat dengan dek bawah. Namun, area ini berulang kali dihantam alun, membuatnya tidak aman untuk transfer. Dua awak kapal kembali ditempatkan di puncak tangga logam vertikal permanen. Pengaturan ini tidak sesuai standar dan menempatkan baik pilot maupun awak kapal pada risiko yang tidak perlu. Awak kapal mencoba membuka sebuah gerbang di tengah kapal sebagai posisi alternatif untuk naik, tetapi air laut masuk ke dek kapal sehingga kondisinya jelas tidak aman (lihat gambar di atas).
Upaya Ketiga – Proses naik kapal selesai – Kondisi cuaca telah membaik, dan pilot dapat melakukan transfer melalui dek bawah. Namun, beberapa masalah keselamatan teramati pada tangga pilot yang dipasang: tangga tidak menempel pada lambung kapal, diikat pada rel pegangan tangan dan bukan pada titik-titik kuat di dek, serta terdapat penghalang di bagian atas—tali tangga tidak rata dengan dek, menciptakan bahaya tersandung dan terjerat.”
Proses naik ke kapal akhirnya berlangsung sekitar 48 jam setelah upaya pertama, dan CHIRP memuji sikap tegas terhadap keselamatan yang diambil oleh para pandu. Laporan ini menyoroti masalah yang terus-menerus terjadi: beberapa kapal masih tidak dapat menyediakan pengaturan transfer pilot yang aman dan sesuai standar, terutama dalam kondisi cuaca buruk. Dalam kasus ini, dua upaya naik kapal dibatalkan karena pengaturan yang tidak aman dan tidak adanya tangga pilot yang dipasang dengan benar. Awak kapal terlihat menggunakan tangga vertikal permanen dan berdiri di atas penutup palka, yang keduanya tidak aman atau sesuai standar dalam kondisi laut yang dinamis.
Meskipun upaya ketiga berhasil dalam cuaca yang lebih tenang, tangga pilot yang dipasang tetap tidak aman, dengan pengikatan yang buruk, celah antara tangga dan lambung, serta penghalang di bagian atas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius. Metode naik kapal improvisasi, sebaik apa pun niatnya, membahayakan pilot dan awak kapal pada risiko yang tidak dapat diterima. Peraturan SOLAS dan IMO bukanlah pilihan; keduanya adalah standar minimum.
Jika dek bawah adalah satu-satunya titik transfer yang memungkinkan, hal ini harus dinyatakan dengan jelas dalam kartu pilot (pilot card) kapal dan disetujui sebelumnya. Tidak ada gunanya memberitahu pilot tentang pengaturan transfer ketika mereka sudah berada di anjungan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah pelabuhan memiliki prosedur naik kapal untuk cuaca buruk, dengan batasan kondisi cuaca dan laut yang telah ditetapkan? Hanya kondisi yang memenuhi kriteria tersebut yang seharusnya diizinkan untuk proses naik kapal pandu.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa jika sebuah kapal tidak dapat menyediakan sarana transfer pilot yang aman dan sesuai standar dalam kondisi yang diperkirakan, kapal tersebut mungkin tidak layak untuk operasi pemanduan tanpa adanya modifikasi. CHIRP akan menyampaikan masalah ini kepada otoritas terkait untuk menjajaki apakah tindakan atau panduan lebih lanjut diperlukan untuk mencegah kejadian berulang. Topik tentang menciptakan sisi lindung (lee) yang aman untuk proses naik kapal telah dibahas oleh Dewan Penasihat Maritim kami, dan akan segera dipublikasikan di bagian ‘Topik Hangat’ (Hot Topics) di situs web kami.
Praktik Lokal – Ketergantungan terus-menerus pada metode yang tidak sesuai standar menyiratkan bahwa praktik-praktik tidak aman mungkin telah diterima secara informal di atas kapal ini.
Sikap Berpuas Diri – Awak kapal tampaknya menerima metode yang tidak aman (misalnya, tangga permanen, penutup palka) sebagai pilihan yang layak untuk naik ke kapal, yang mengindikasikan adanya normalisasi praktik yang tidak sesuai standar.
Kapabilitas – Pemasangan tangga yang tidak benar dan penggunaan berulang pengaturan yang tidak aman menunjukkan pemahaman yang buruk tentang SOLAS Bab V Peraturan 23 dan standar transfer pandu.
Komunikasi – Koordinasi yang tidak jelas antara pilot dan kapal mengenai titik dan kondisi naik kapal menyebabkan upaya yang tidak aman atau dibatalkan.
Poin-poin penting
Bagi Para Pelaut – Ketahui aturannya, jangan berimprovisasi. Improvisasi naik kapal yang tidak aman bukan hanya tidak sesuai standar—tindakan itu membahayakan nyawa. Selalu gunakan tangga pandu yang dipasang dengan benar, jangan pernah menggunakan tangga permanen atau penutup palka. Jika ragu, hentikan proses dan sampaikan masalah ini ke jenjang yang lebih tinggi.
Bagi Para Manajer – Tidak sesuai standar? Berarti belum siap. Kapal harus mampu secara fisik dan prosedural untuk melakukan transfer pandu yang aman dalam kondisi cuaca yang diperkirakan. Pastikan kartu pandu secara akurat mencerminkan pengaturan naik kapal yang sebenarnya dan bahwa awak kapal dilatih untuk memenuhi standar SOLAS.
Bagi Para Regulator – Proses naik kapal yang tidak aman masih terlalu umum. Ketidakpatuhan yang terus-menerus menunjukkan perlunya penegakan hukum, bukan hanya panduan. Perkuat pengawasan terhadap desain transfer pandu dan praktik di atas kapal, serta pastikan kapal yang tidak layak dipaksa untuk mengubah praktik buruk mereka sebelum insiden terjadi.
–
Sebuah kapal survei nirawak terbalik saat kembali ke pelabuhan pangkalannya. Meskipun ada kekhawatiran dari tim kelautan mengenai cuaca yang memburuk, misi di laut diperpanjang karena adanya tekanan komersial. Perpanjangan ini mendorong operasi melampaui batas kemampuan kapal yang telah direncanakan, dan saat kembali ke pelabuhan, USV tersebut terbalik di wilayah perairan yang ramai dan dapat dilayari. USV tersebut pada akhirnya berhasil dievakuasi.
Peristiwa terbaliknya kapal ini menyoroti bahaya dari keputusan operasional yang mengabaikan batasan lingkungan, terutama di bawah tekanan komersial. Risiko cuaca sudah diketahui, tetapi operasi tetap dilanjutkan, sehingga mendorong kapal melampaui parameter operasional yang aman.
Seiring makin umumnya penggunaan USV dan MASS (Maritime Autonomous Surface Ships atau Kapal Permukaan Otonom Maritim), harus ada alur tanggung jawab yang jelas. Sangat penting untuk mengidentifikasi siapa yang memiliki wewenang tertinggi atas pengerahan dan evakuasi kapal-kapal tersebut. Tanpa kejelasan ini, kebingungan atau kesalahan penilaian dapat menimbulkan konsekuensi serius.
Baik pemilik maupun operator bertanggung jawab secara hukum atas keselamatan kapal mereka dan kapal lain di sekitarnya. Melampaui batas operasional yang telah didokumentasikan dapat membuat mereka dituntut secara hukum. Terlebih lagi, keputusan IMO baru-baru ini menegaskan bahwa layanan penyelamatan yang didanai negara tidak diwajibkan untuk mengevakuasi kapal nirawak. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting tentang kerusakan lingkungan dan risiko navigasi yang ditimbulkan oleh USV yang rusak atau terbalik dan dibiarkan hanyut.
USV yang rusak juga dapat menimbulkan bahaya fisik. Perilakunya bisa tidak terduga, mungkin memiliki komponen yang bergerak, atau mengandung sistem kelistrikan yang aktif. Tanpa pengetahuan khusus tentang kapal tersebut, mendekatinya bisa berbahaya. Insiden ini juga menimbulkan pertanyaan apakah pemilik dan pengambil keputusan menerima risiko insiden yang lebih tinggi hanya karena kapal tersebut nirawak. Meskipun mungkin tidak ada risiko langsung bagi manusia, konsekuensi operasional, hukum, dan lingkungan yang lebih luas tetap signifikan.
Standar pelatihan dan sertifikasi saat ini sedang berjuang untuk mengimbangi kemajuan teknologi. Tim operasi jarak jauh sering kali terdiri dari para profesional yang sangat berpengalaman dengan kualifikasi seperti OOW Unlimited, Chief Mate, Master, dan Yachtmaster. Namun, ada kebutuhan mendesak untuk merevisi STCW dan kerangka peraturan terkait agar dapat mencerminkan realitas operasional USV dan MASS. Peraturan juga sangat bervariasi antarnegara, yang menambah kerumitan lebih lanjut ketika kapal-kapal ini beroperasi lintas batas negara atau di perairan internasional.
Peristiwa ini menjadi peringatan bagi industri maritim: seiring kemajuan otonomi, wawasan ke depan, pelatihan, dan tanggung jawab juga harus maju. Tekanan komersial tidak boleh mengalahkan keselamatan. Komunitas maritim, regulator, dan operator harus berkolaborasi untuk memastikan bahwa standar keselamatan berkembang seiring dengan inovasi.
Tekanan – Keputusan untuk memperpanjang misi, meskipun risiko cuaca telah diketahui, didorong oleh pertimbangan komersial, bukan keselamatan operasional.
Kesadaran Situasional – Melampaui batas operasional USV telah menghadapkan kapal pada risiko yang tidak perlu. Hal ini dipahami oleh tim operasi tetapi tidak oleh tim komersial.
Komunikasi – Penyampaian risiko yang terkait dengan operasi ini kepada seluruh tim seharusnya membuat bahayanya menjadi jelas bagi semua orang.
Poin-poin penting
Bagi Para Pelaut – Tetap bersuara, meskipun tidak ada orang di atas kapal. Insiden ini menunjukkan nilai dari penilaian profesional, bahkan dalam operasi jarak jauh. Para pelaut dan tim kelautan harus tetap percaya diri dalam menyampaikan kekhawatiran, terutama mengenai cuaca dan risiko. Ketiadaan awak kapal bukan berarti ketiadaan tanggung jawab.
Bagi Para Manajer – Tekanan komersial menenggelamkan keselamatan. Keputusan manajemen untuk memperpanjang operasi melampaui batas aman—meskipun ada masukan dari tim kelautan—merupakan kontributor langsung dari terbaliknya kapal. Keputusan keselamatan harus didasarkan pada risiko, bukan pendapatan, dengan tim operasional yang diberdayakan untuk bertindak tanpa intervensi.
Bagi Para Regulator – Kapal yang dioperasikan dari jarak jauh tetap memerlukan aturan. Meningkatnya penggunaan USV dan MASS menuntut adanya kerangka hukum yang jelas dan persyaratan pelatihan yang diperbarui. STCW harus berevolusi untuk mencakup operasi jarak jauh, dan akuntabilitas atas keselamatan kapal-kapal ini harus tegas, tidak ambigu, dan dapat ditegakkan.
–
Awak kapal menjadwalkan inspeksi rutin 6 bulanan untuk ruang-ruang kosong (void spaces) A, B, dan C, termasuk pengujian isap got (bilge) dan alarmnya. Karena jadwal operasional kapal (0600 hingga 2100), inspeksi direncanakan untuk dilakukan setelah kapal selesai beroperasi atau sebelum jadwal operasional pertama pada hari itu.
Sebagai bagian dari inspeksi, manajer teknis perusahaan datang ke atas kapal untuk memeriksa serangkaian ruang kosong sebagai bagian dari sistem perawatan terencana. Prosedur lengkap untuk memasuki ruang tertutup telah diikuti, dan sistem izin kerja (permit-to-work) yang cermat telah diselesaikan. Tim yang masuk terdiri dari perwira pengawas, manajer teknis perusahaan, AB (Juru Mudi) yang bertugas jaga malam, AB kepala, dan asisten AB, masing-masing dengan peran spesifik yang telah ditentukan untuk menjaga dan mengawasi tangki. Proses masuk ke tangki kosong A dan B berlangsung tanpa insiden, mengikuti praktik standar yaitu masuk melalui akses sisi kiri (port-side).
Setelah menyelesaikan inspeksi bersama manajer teknis, perwira pengawas dan manajer teknis keluar dari ruang kosong C. Pada saat yang sama, AB yang bertugas jaga malam melanjutkan pengujian alarm dan sistem isap got, sambil berkomunikasi dengan kamar mesin. Untuk mengurangi kepadatan percakapan di radio, AB jaga malam tersebut beralih ke saluran lain untuk berkomunikasi dengan kamar mesin. Perwira pengawas memberitahu AB jaga malam bahwa mereka akan menutup penutup akses sisi kanan (starboard) dan bahwa AB tersebut harus keluar melalui sisi kiri (port-side) setelah selesai melakukan pengujian got, seperti yang telah dilakukan sebelumnya pada tangki A dan B. AB jaga malam tersebut tidak mendengar informasi ini karena ia telah beralih ke saluran radio yang lain.
Detektor multi-gas milik AB jaga malam kemudian membunyikan alarm baterai lemah, yang disalahartikan sebagai alarm gas. Ia mengenakan Perangkat Bantu Pernapasan Evakuasi Darurat (EEBD) untuk keluar dari ruang kosong tersebut, dan saat sedang mengenakan tudungnya, radionya terjatuh. Tudung EEBD tersebut mulai berembun.
Dalam keadaan bingung, AB jaga malam tersebut mencoba keluar melalui palka sisi kanan (starboard), yang ternyata sudah ditutup. Kepalanya terbentur penutup palka yang tertutup saat menaiki tangga, sehingga penutup tersebut harus segera dibuka agar ia bisa keluar. Empat hari kemudian, AB jaga malam tersebut melapor bahwa ia merasa tidak enak badan dan sakit kepala, serta mengaitkan gejalanya dengan benturan pada penutup tangki.
Insiden ini menunjukkan bagaimana satu kegagalan komunikasi, yang diakibatkan oleh pergantian saluran radio, dapat merusak prosedur ruang tertutup yang bahkan telah direncanakan dengan baik. Sebuah instruksi penting mengenai rute keluar yang telah ditentukan tidak diterima oleh satu-satunya awak kapal yang masih berada di dalam ruang kosong tersebut. Hal ini menyebabkan kebingungan dan upaya berbahaya untuk keluar.
AB tersebut bertindak dengan bijaksana ketika detektor multi-gasnya mengeluarkan peringatan baterai lemah, karena ia mengira itu mungkin adalah peringatan gas. Namun, Izin Kerja dan pengarahan singkat (toolbox talk) seharusnya dapat membantu memperjelas jenis-jenis alarm, memastikan perangkat terisi penuh, dan mengonfirmasi bahwa APD (Alat Pelindung Diri) yang benar, seperti helm pengaman, telah dikenakan. Alarm yang tidak terduga itu menyebabkan momen panik, sebuah “efek terkejut” (startled effect). Saat mengenakan tudung penyelamat, jarak pandang AB tersebut berkurang, dan radionya terjatuh, membuatnya kehilangan orientasi dan tidak dapat berkomunikasi.
Sementara itu, tim di luar mulai menutup salah satu palka keluar, saat seseorang masih berada di dalam. Tindakan ini seharusnya tidak pernah terjadi selama operasi masuk ruang tertutup. Hal ini menunda upaya penyelamatan diri AB tersebut dan menyebabkan cedera kepala ketika ia membentur palka yang tertutup.
Akar masalahnya tampaknya adalah kurangnya model mental bersama (shared mental model) di antara tim. Aktivitas lain, seperti pengujian got dan komunikasi yang sedang berlangsung dengan kamar mesin, menambah gangguan karena adanya aktivitas kerja yang bertentangan, sehingga meningkatkan beban kerja kognitif AB tersebut. Meskipun prosedur dan izin kerja telah ada, kasus ini menunjukkan mengapa semua itu harus didukung oleh komunikasi yang jelas dan terkonfirmasi serta koordinasi tugas yang efektif. Yang paling penting, rute keluar tidak boleh dihalangi selama masih ada orang di dalam ruang tertutup.
Komunikasi – Sebuah instruksi lisan yang penting mengenai rute keluar terlewat karena pergantian saluran radio, tanpa ada konfirmasi yang diminta maupun diberikan.
Kapabilitas – Tugas-tugas yang bertentangan (inspeksi ruang kosong, pengujian got, dan komunikasi dengan kamar mesin) dijadwalkan secara bersamaan, sehingga meningkatkan risiko dan kompleksitas di dalam ruang terbatas.
Kesadaran Situasional – AB tersebut kehilangan orientasi karena salah menafsirkan alarm, terganggunya jarak pandang oleh EEBD, dan radio yang terjatuh, yang menyebabkan ia mencoba keluar melalui palka yang telah ditutup.
Kerja Sama Tim – AB tersebut ditinggal sendirian di dalam ruang kosong sementara tim lain di atas dek mulai mengamankan (menutup) sebuah jalan keluar, yang menunjukkan kurangnya koordinasi dan pemantauan tim yang aktif.
Poin-poin penting
Bagi Para Pelaut – Gunakan komunikasi putaran tertutup (closed-loop communication). Pastikan bahwa semua komunikasi yang krusial bagi keselamatan telah dikonfirmasi dan dipahami, terutama selama proses masuk ke ruang tertutup. Jangan hanya mengandalkan asumsi atau pola-pola sebelumnya—kesadaran situasional dapat menjadi pembeda antara keselamatan dan cedera serius.
Bagi Para Manajer – Perencanaan yang efektif melibatkan elemen manusia. Perencanaan tugas harus mempertimbangkan interaksi manusia-sistem, keterbatasan peralatan, dan redundansi (cadangan) komunikasi, terutama di bawah tekanan waktu atau operasional. Tim yang terlatih sekalipun memerlukan langkah-langkah pengamanan terhadap miskomunikasi dan kebingungan. Perencanaan yang baik harus menyertakan faktor manusia.
Bagi Para Regulator – Peraturan harus mencerminkan kenyataan. Standar harus mewajibkan adanya sistem pengaman (fail-safe) untuk komunikasi, fungsionalitas peralatan, dan jalur keluar darurat di ruang tertutup. Prosedur harus mencerminkan kondisi dunia nyata, bukan hanya kondisi ideal.